Pajak Bumi dan Bangunan
UNDANG-UDANG
Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994. Terakhir diubah dengan Undang-Undang No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya. Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman (termasuk rawa-rawa, tambak, perairan serta laut wilayah Republik Indonesia.
Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan atau/bangunan.
Termasuk dalam pengertian bangunan adalah :
- Jalan lingkungan dalam satu kesatuan dengan kompleks bangunan
- Jalan tol
- Kolam renang
- Pagar mewah
- Tempat olah raga
- Galangan kapal, dermaga
- Taman mewah
- Tempat penampungan/kilang minyak, air, gas dan pipa minyak
- Fasilitas lain yang memberikan manfaat.
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual-beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual-beli, maka Nilai Jual Objek Pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, ataua nilai jual objek pajak pengganti.
Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) adalah surat yang digunakan oleh wajib pajak untuk melaporkan data objek menurut ketentuan UU Pajak Bumi dan Bangunan.
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) adalah surat yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya pajak terutang kepada wajib pajak. Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang) berdasarkan SPOP (Surat Pemeberitahuan Objek Pajak).
OBJEK PAJAK
- Yang menjadi Objek Pajak adalah bumi dan/atau bangunan.
- Yang dikecualikan / tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan
- Objek pajak yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dan tidak untuk mencari keuntungan, misal : tempat peribadatan, sosial, pendidikan, dan kebudayaan nasional;
- Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala atau yang sejenis dengan itu;
- Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak.
- Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik.
- Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.
- Sementara objek pajak yang digunakan oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan, penentuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
SUBJEK PAJAK
Yang menjadi subjek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas tanah bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan. Dengan demikian tanda pembayaran/pelunasan pajak bukan merupakan bukti hak. Subjek Pajak inilah yang dikenakan kewajiban membayar PBB atau yang menjadi wajib pajak.
DASAR PENGENAAN PAJAK
- Dasar Pengenaan Pajak adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
- NJOP ditetapkan setiap tiga tahun oleh Menteri Keuangan, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun sesuai perkembangan daerahnya.
- Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) paling rendah sebesar Rp 10.000.000 berdasar UU PDRD No 28 Tahun 2009, yang selanjutnya ditetapkan terakhir oleh Peraturan Menteri Keuangan No. 67/PMK.03/2011, setinggi-tingginya adalah sebesar Rp. 24.000.000,00 untuk setiap Wajib Pajak (berlaku per 1 Januari 2012).
- Apabila seorang Wajib Pajak mempunyai beberapa objek pajak, yang diberikan NJOP TKP hanya salah satu objek pajak yang nilainya terbesar.
DASAR PENGHITUNGAN PBB
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2002, maka besarnya NJKP untuk penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan ditentukan sebagai berikut:
Sebesar 40% dari NJOP untuk:
- Objek Pajak Perkebunan,
- Objek Pajak Kehutanan,
- Objek Pajak Pertambangan
- Objek Pajak Bumi dan Bangunan lainnya apabila NJOP 1 Milyar rupiah.
- Sebesar 20% dari NJOP untuk Objek Pajak Bumi dan Bangunan lainnya apabila NJOP < 1 Milyar rupiah.
DASAR PENAGIHAN PBB
- Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT)
- Surat Ketetapan Pajak (SKP)
- Surat Tagihan Pajak (STP)
- Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT)
- SPPT adalah surat yang digunakan oelh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya pajak yang terutang kepada Wajib Pajak.
- Dasar Penerbitan SPPT
- Surat Pemberitahuan ini diterbitkan berdasarkan Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP).
- Waktu pelunasan SPPT. Pajak yang terutang berdasarkan SPPT harus dilunasi selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak diterimanya SPPT oleh Wajib Pajak.
Surat Ketetapan Pajak (SKP)
SKP diterbitkan apabila Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) yang disampaikan melewati 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya SPOP oleh Wajib Pajak dan setelah ditegur secara tertulis ternyata tidak dikembalikan oleh Wajib Pajak sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran.
SKP diterbitkan/dibuat apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lainnya ternyata jumlah pajak yang terhutang lebih besar dari jumlah pajak berdasarkan SPOP yang dikembalikan oleh Wajib Pajak.
Waktu pelunasan SKP
Pajak yang terutang berdasarkan SKP harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya SKP oleh Wajib Pajak. Jadi, apabila seorang Wajib Pajak menerima SKP pada tanggal 1 Maret 1998, ia sudah harus melunasi PBB selambat - lambatnya tanggal 31 Maret 1998. Tanggal 31 Maret 1998 ini disebut juga tanggal jatuh tempo SKP.
Jumlah Pajak yang Terutang dalam SKP
Jumlah pajak yang terutang dalam SKP yang penerbitaannya disebabkan oleh pengembalian SPOP lewat 30 (tiga puluh) hari setelah diterima Wajib Pajak adalah sebesar pokok pajak ditambah dengan denda administrasi 25% dihitung dari pokok pajak.
Contoh 1:
A. Wajib Pajak A tidak menyampaikan SPOP berdasarkan data yang ada. Kepala Kantor Pelayanan PBB mengeluarkan SKP yang berisi objek pajak dengan luas dan nilai jual.
Luas objek pajak menurut SPOP:
Pokok Pajak = Rp. 100.000,00
Denda Aministrasi 25% X Rp. 100.000,00 = Rp. 25.000,00
Kewajiban Perpajakan= Rp. 125.000,00
B. Jumlah pajak yang terutang dalam SKP, dasar penerbitannya disebabkan oleh hasil pemeriksaan atau keterangan lainnya dengan pajak yang terutang dihitung berdasarkan SPOP ditambah denda administrasinya sebesar 25% dari selisih pajak yang terutang.
Contoh 2:
Berdasarkan SPOP diterbitkan SPPT Rp. 5.000.000,00 Berdasarkan pemeriksaan yang seharusnya terutang dalam SKP Rp. 10.000.000,00
Selisih Rp. 5.000.000,00
Denda Administrasi 25% x Rp. 5.000.000,00 Rp. 1.125.000,00
Jumlah pajak dalam SKP Rp. 11.125.000,00
Surat Tagihan Pajak (STP)
Dasar Penerbitan STP
- Wajib Pajak terlambat membayar utang pajaknya seperti tercantum dalam SPPT, yaitu malampaui batas waktu 6 (enam) bulan sejak diterimanya SPPT oleh Wajib Pajak.
- Wajib Pajak terlambat membayar utang pajaknya seperti tercantum dalam SKP, yaitu melampaui batas waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya SK oleh Wajib Pajak.
- Wajib Pajak melunasi pajak yang terutang setelah lewat tempo pembayaran PBB, tetapi denda administrasi tidak dilunasi.
Besarnya Denda Administrasi dalam STP
Besarnya denda administrasi karena Wajib Pajak terlambat membayar pajaknya,
Melampaui batas waktu jatuh tempo SPPT adalah sebesar 2% sebulan yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
Saat Jatuh Tempo STP
Saat jatuh tempo STP adalah satu bulan sejak diterimanya STP oleh Wajib Pajak. Misalkan STP diterima oleh Wajib Pajak tanggal 1 September 2000, maka jatuh tempo pembayarannya adalah tanggal 30 September 2000.
HAK-HAK WAJIB PAJAK
Keberatan
Hal yang Mendasari Pengajuan Keberatan oleh Wajib Pajak yaitu:
Wajib Pajak merasa bahwa besarnya pajak terutang pada SPPT atau SKP yang diterimanya dari Kantor Pelayanan PBB tidak sesuai dengan keadaan objek pajak yang sebenarnya. Hal ini terjadi karena ada beberapa kesalahan seperti:
- Kesalahan pada luas objek pajak bumi dan/atau bangunan
- Kesalahan klasifikasi objek pajak bumi dan/atau bangunan
- Kesalahan pada penetapan/pengenaan pajak terutang
- Terdapat perbedaan penafsiran mengenai peraturan perundang- undangan tentang pajak (PBB) antara Wajib Pajak dengan aparat pajak.
Syarat-syarat Pengajuan Keberatan
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak c.o Kepala Kantor Pelayanan PBB setempat manakala besarnya pajak terutang yang tercantum dalam SPPT atau SKP yang diterima dirasakan tidak sesuai dengan keadaan objek pajak yang sebenarnya.
Syarat-syarat formal pengajuan keberatan adalah sebagai berikut :
- Surat pengajuan keberatan dibuat secara tertulis dalam Bahasa Indonesia.
- Di dalamnya Wajib Pajak harus bisa memberikan alasan yang jelas. Surat pengajuan keberatan ini harus dilampiri bukti-bukti resmi.
- Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak diterimanya SPPT atau SKP, kacuali ada force majeure.
- Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak.
- Keberatan atas besarnya pajak terutang SPPT atau SKP harus diajukan untuk tiap objek pajak dengan surat kebertan tersendiri pada tahun pajak, dan mencantumkan besarnya PBB yang benar menurut Wajib Pajak.
- Ketika mengajukan surat keberatan, Wajib Pajak harus bisa menunjukkan bukti-bukti untuk memperkuat alasan atas keberatannya.
- Keberatan yang tidak memenuhi ketentuan tidak dianggap sebagai Surat Keberatan, tetapi bila masih dalam jangka waktu 3 bulan, KP PBB dapat meminta Wajib Pajak untuk melengkapi persyaratannya. Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan mengajukan keberatan, kepala KP PBB wajib memberi penjelasan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan PBB.
- Keputusan keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya penetapan. Kepala Kanwil/Kepala KP PBB harus memberi keputusan dalam jangka waktu 12 bulan sejak tanggal diterimanya keberatan. Jika waktu di atas terlampaui, maka keberatan Wajib Pajak dianggap dikabulkan dan Kepala Kanwil/Kepala KP PBB harus menerbitkan surat keputusan yang berisi menerima seluruh pengajuan keberatan.
PENGURANGAN
Pengurangan pajak terutang dapat diberikan kepada Wajib Pajak perorangan atau badan dalam hal:
- Kondisi objek pajak yang ada hubungannya dengan Subjek Pajak (misal pensiun, tidak mampu bayar, dan lain-lain). Besarnya pengurangan yang diperbolehkan adalah setinggi-tingginya 75%, berdasarkan pertimbangan yang wajar dan objektif dengan mengingat penghasilan Wajib Pajak dan besar PBB-nya.
- Objek Pajak terkena bencana alam, seperti gempa bumi, banjir, tanah longsor, gunung meletus, dan sebagainya, serta sebab-sebab lain yang luar biasa seperti kebakaran, kekeringan (bero), wabah penyakit, dan hama tanaman (puso). Besarnya pengurangan yang diperbolehkan adalah setinggi-tingginya 100% berdasarkan pertimbangan yang wajar dan objektif dengan mengingat persentase kerusakan.
Cara Pengajuan Permohonan Pengurangan
- Wajib Pajak bisa mengajukan permohonan tertulis dalam Bahasa Indonesia tentang pengurangan PBB kepada Menteri Keuangan c.o Kantor Pelayanan PBB yang menerbitkan SPPT atau SKP dengan mencantumkan besarnya persentase pengurangan yang dimohonkan.
- Cara pengajuan permohonan pengurangan harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
- Permohonan pengurangan PBB untuk ketetapan PBB sampai dengan Rp. 25.000 (dua puluh lima ribu rupiah) dapat diajukan secara perorangan maupun kolektif (melalui Kepala Desa/Lurah yang bersangkutan).
- Permohonan pengurangan PBB untuk ketetapan PBB di atas Rp. 25.000,- (dua puluh lima ribu rupiah) harus
- diajukan oleh Wajib Pajak yang bersangkutan dengan melampirkan fotokopi SPPT/SKP dari tahun pajak yang diajukan permohonan pengurangannya.
- Permohonan pengurangan PBB untuk Wajib Pajak Badan harus dilampiri dengan:
- Fotokopi SPPT/SKP dati tahun pajak yang diajukan permohonannya.
- SPT PPh tahun pajak yang terakhir beserta lampirannya.
Batas Waktu Permohonan Pengurangan
- Kepala Kantor Pelayanan PBB yang menerbitkan SPPT atau SKP, harus sudah memberikan keputusan selambat-lambatnya 60 hari sejak diterimanya permohonan pengurangan, keputusan tersebut, dapat menerima seluruh permohonan, sebagian permohonan/menolak.
- Keputusan pemberian pengurangan tersebut berlaku untuk satu tahun pajak yang bersangkutan.
- Keputusan tersebut di atas berdasarkan hasil penelitian administrasi dan/atau verifikasi lapangan dengan pertimbangan yang wajar dan objektif dengan pedoman sebagai berikut:
- Permohonan diterima seluruhnya apabila hasil penelitian administrasi dan/atau verifikasi lapangan menunjukkan hal-hal
- yang sesuai dengan alasan-alasan permohonan pengajuan.
- Permohonan diterima sebagian apabila dari hasil penelitian administrasi dan/atau verifikasi lapangan didapatkan data yang sebagian sesuai dengan alasan-alasan permohonan pengurangan.
- Permohonan ditolak seluruhnya apabila hasil penelitian administrasi dan/atau verifikasi lapangan didapatkan data yang tidak benar/bertentangan dengan alasan-alasan yang diajukan untuk permohonan pengurangan.
- Apabila dalam jangka waktu permohonan 60 hari telah lewat dan keputusan belum diterbitkan, maka permohonan pengurangan dianggap diterima dan diterbitkan pemberian pengurangan yang besarnya sesuai dengan permohonan pengurangan.
- Jangka waktu 60 hari tersebut dihitung sejak tanggal tanda terima Surat Permohonan tersebut, dalam hal surat permohonan disampaikan secara langsung tanggal diterimanya Surat Permohonan dikirimkan melalui pos (biasa maupun tercatat) atau sarana pengiriman lainnya.
DALUWARSA PBB
Daluwarsa Penetapan PBB
Daluwarsa penetapan PBB adalah hapusnya/gugurnya hak negara untuk menetapkan PBB yang terutang karena lampaunya waktu lima tahun tahun sejak saat terutangnya PBB.
Daluwarsa Penagihan PBB
Daluwarsa penagihan PBB adalah hapusnya/gugurnya hak negara untuk melakukan penagihan dengan surat paksa (berdasarkan UU PPSP) atas PBB, termasuk bunga, denda, kanaikan dan biaya penagihan.
Hak untuk melakukan penagihan dengan surat paksa tersebut gugur setelah dilampauinya jangka waktu 5 tahun terutangnya pajak yang bersangkutan, kecuali:
- Hak untuk melakukan penagihan dengan surat paksa tersebut gugur setelah dilampauinya jangka waktu 10 tahun terutangnya pajak yang bersangkutan, kecuali:
- Apabila Wajib Pajak setelah jangka waktu 10 tahun tersebut melakukan tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan mengenai PBB yang penagihannya telah daluwarsa berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
- Telah dikeluarkan Surat Teguran dan Surat Paksa.
- Adanya pengakuan Wajib Pajak secara langsung ataupun tidak langsung, antara lain:
- Dilakukan pembayaran pajak yang terutang tersebut
- Dilakukan permohonan penundaan/angsuran pembayaran pajak
- Dalam hal demikian, daluwarsa penagihan piutang pajak dihitung dari saat terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut di atas.*
(materipdp1|2017)
Tidak ada komentar