Breaking News

Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan

appraisal.my.id

Subjek pajak BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Subjek pajak yang dikenakan membayar pajak menjadi Wajib Pajak (Pasal 4).

Objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. BPHTB dikenakan kepada peristiwa hukum atau perbuatan hukum atas transaksi/peralihan haknya yang meliputi pemindahan hak dan pemberian hak baru (Pasal 2).

Pemindahan hak dapat terjadi karena jual-beli, tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penunjukan pembeli dalam lelang, pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, hadiah.

Sedangkan pemberian hak baru terjadi baik karena kelanjutan pelepasan hak ataupun di luar pelepasan hak.

Hak atas tanah meliputi:

Hak Milik, yaitu hak turun menurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah;

Hak Guna Usaha, yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu sebagaimana yang ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku;

Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;

Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langusng oleh Negara atau tanah milik orang lain sesuai perjanjian, yang bukan perjanjian sewa-menyewa ataui perjanjian pengolahan tanah sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

Hak Milik atas Satuan Rumah Susun adalah milik atas satuan yang bersifat bagian bersama, benda bersama, dan tanah yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan;

Hak Pengelolaan, yaitu hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain, berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga.

Objek yang tidak dikenakan pajak adalah objek yang diperoleh:

Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum
Badan atau perwakilan organisasi internasional, baik pemerintah maupun non pemerintah, yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;
Orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama. Konversi hak adalah perubahan hak dari hak lama menjadi hak baru menurut Undang - undang Pokok Agraria, termasuk hak oleh Pemerintah, 

Contoh:
‘Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik tanpa adanya perubahan nama;
‘Bekas tanah hak milik adat (dengan bukti surat Girik atau sejenisnya) menjadi hak baru;
‘Perbuatan hukum lain misalnya memperpanjang hak atas tanah tanpa adanya perubahan nama, (contoh:  Perpanjangan Hak Guna Bangunan (HGB), yang dilaksanakan baik sebelum maupun setelah berakhirnya HGB).
Orang pribadi atau badan karena wakaf, yaitu perbuatan orang pribadi atau badan yang memisahkan sebagian harta kekayaannya berupa hak milik tanah dan atau bangunan dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan umum lainnya tanpa imbalan apa pun.
Orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.

TARIF, DASAR PENGENAAN, DAN CARA PENGHITUNGAN PAJAK
Tarif BPHTB adalah tarif tunggal yang ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
Dasar pengenaan pajak BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) sebagaimana diatur dalam Pasal 6:

TRANSAKSI PEROLEHAN DAN DASAR PENGENAAN
a. jual beli - harga transaksi
b. tukar-menukar - nilai pasar
c. hibah  - nilai pasar
d. hibah wasiat - nilai pasar
e. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya - nilai pasar  
f. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak - nilai pasar
g. pemberian hak baru atas tanah diluar pelepasan hak - nilai pasar
h. penggabungan, peleburan, dan pemekaran usaha - nilai pasar
i. hadiah - nilai pasar
j. penunjukan pembeli dalam lelang  - harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang

Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) kecuali penunjukan pembeli dalam lelang, jika tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan.

Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dikurangi dengan Nilai Perolehan Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP).

Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan oleh Menteri Keuangan melalui Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat untuk setiap kabupaten/kota berdasarkan usulan dari Pemerintah Daerah yang bersangkutan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat paling lambat satu bulan sebelum tahun pajak dimulai, dengan mempertimbangkan perkembangan perekonomian regional (Peraturan Pemerintah No.113 Tahun 2000 dan KMK NO. 516/KMK.04/2000).

Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan, menetapkan besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak secara regional dengan ketentuan:

Perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan darah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/isteri. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling tinggi Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Untuk perolehan lainnya, NPOP -TKP paling tinggi Rp.  60.000.000,00 (enam puluh juta rupaiah)

Besarnya pajak yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak, yaitu sebagai berikut:

BPHTB = 5% x (NPOP – NPOPTKP)

BPHTB yang terutang atas perolehan karena waris, hibah wasiat, adalah 50% dari yang seharusnya terutang (PP Nomor 111 tahun 2000), terutang sejak tanggal pendaftaran peralihan hak ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang bersangkutan.

Untuk pemberian hak pengelolaan, pengenaan pajaknya diatur sebagai berikut (Peraturan Pemerintah Nomor 112 tahun 2000): 0% (nol persen) dari BPHTB yang seharusnya terutang, dalam hal penerima Hak Pengelolaan adalah Departemen, Lembaga Pemerintah non Departemen, Pemerintah Daerah, lembaga pemerintah lainnya dan Perum Perumnas. 50% (lima puluh persen) dari BPHTB yang seharusnya  terutang, untuk penerima Hak Pengelolaan lainnya.

SAAT DAN TEMPAT PAJAK TERUTANG
Saat terutang pajak atas perolehan atas tanah dan atau bangunan:
Sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris, meliputi: jual beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, hadiah.
Sejak tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.
Sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dalam hal sudah keputusan hakim.
Sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan, meliputi: hibah wasiat dan waris.
Sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak, meliputi: pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak dan pemberian hak baru di luar pelepasan hak.

Tempat terutang pajak adalah di wilayah Kabupaten, Kota, atau Propinsi yang meliputi letak tanah dan atau bangunan.

PEMBAYARAN PAJAK
Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya surat ketetapan pajak (self assesment system). Pajak yang terutang dibayar ke kas negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan di wilayah Kabupaten/Kota yang meliputi letak tanah dan atau bangunan. BPHTB yang terutang disetor dengan Surat Setoran BPHTB (SSB) dan dipindahbukukan saldo penerimaan BPHTB ke Bank Operasional V BPHTB.

Kewajiban membayar sebagaimana tersebut di atas dilaksanakan sebelum:
Akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan ditandatangani oleh PPAT/Notaris.
Risalah Lelang untuk pembeli ditandatangani oleh Pejabat Lelang.
Dilakukan pendaftaran hak oleh Kepala Kantor Pertanahan, dalam hal:
Pemberian hak baru;
Pemindahan hak karena pelaksanaan putusan hakim, hibah   wasiat atau waris.

PENETAPAN PAJAK
Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kerang Bayar apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang kurang bayar.
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Keputusan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB) ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung mulai saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar.
Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT) apabila ditemukan data baru atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah diterbitkannya Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar.
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKBKBT ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut, kecuali Wajib Pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.

PENAGIHAN PAJAK
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (STB), apabila:
pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
dari hasil pemeriksaan kantor Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung;
Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi dan atau bunga.
Sanksi administrasi dikenakan berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat terutangnya pajak.

Surat Tagihan BPHTB mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak, sehingga penagihannya dapat dilanjutkan dengan penerbitan Surat Paksa. Dasar penagihan pajak meliputi Surat Ketetapan BPHTB Kurang Bayar, Surat Ketetapan BPHTB Kurang Bayar Tambahan, Surat Tagihan BPHTB, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan maupun Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah. Jangka waktu pelunasan pajak yang harus dibayar tersebut adalah paling lama 1 (satu) bulan sejak diterima Wajib Pajak.

Jumlah pajak yang terutang berdasarkan hal di atas, apabila tidak atau kurang dibayar pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa, yaitu surat perintah membayar pajak dan tagihan yang berkaitan dengan pajak sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku (UU NO. 19 tahun 2000).

PENGURANGAN
Sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 87/KMK.03/2002 tentang PeWajib Pajak dapat mengajukan pengurangan BPHTB kepada Kepala Kantor PBB, Kepala Kanwil Ditjen Pajak, Dirjen Pajak atas nama Menteri Keuangan RI dalam hal :

A. Kondisi tertentu wajib pajak yang ada hubungannya dengan objek pajak, yaitu :
1. Wajib pajak Orang Pribadi (OP) yang memperoleh hak baru melaui program pemerintah di bidang pertanahan dan tidak mempunyai kemampuan secara ekonomis; (75 %)
2.Wajib pajak Badan yang memperoleh hak baru baru selain Hak Pengelolaan dan telah menguasai tanah dan atau bangunan secara fisik lebih dari 20 tahun yang dibuktikan dengan surat pernyataan wajib pajak dan keterangan dari pejabat Pemda setempat; (50%)
3.Wajib pajak OP yang mmperoleh hak atas tanah dan atau bangunan Rumah Sederhana (RS) dan Rumah Susun Sederhana serta RSS yang diperoleh dari pengembang dan dibayar secara angsuran; (25 %)
4.Wajib pajak OP yang menerima hibah hibah dari orang pribadi yang mempunyai hubungan kelurga sedarah dalam garis lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah; (50%)

B. Kondisi wajib pajak yang ada hubunganya dengan sebab-sebab tertentu:
1. WP yang memperoleh hak atas tanah melalui pembelian dari hasil ganti rugi pemerintah yang nilai ganti ruginya di bawah NJOP; (50%)
2. WP yang memperoleh hak atas tanah sebagai pengganti atas tanah yang dibebaskan oleh pemerintah untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus; (50%)
3.WP Badan yang terkena dampak krisis ekonomi dan moneter yang berdampak luas pada kehidupan perekonomian nasional sehingga WP harus melakukan restrukturisasi usaha dan atau utang usaha sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah; (75 %)
4.WP Bank Mandiri yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan yang berasal dari BBD, BDN, Bapindo dan Bank Exim dalam rangkaian proses penggabungan usaha (merger); (100 %)
5.WP Badan yang melakukan penggabungan usaha (merger) atau peleburan usaha (konsolidasi) dengan atau tanpa terlebih dahulu mengadakan likuidasi dan telah memperoleh keputusan persetujuan penggunaan Nilai Buku dalam rangka penggabungan atau peleburan usaha dari Dirjen Pajak; (50%)
6. WP yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan yang tidak berfungsi lagi seperti semula disebabkan bencana alam atau sebab-sebab lainnya seperti kabakaran, banjir, tanah longsor, gempa bumi, gunung meletus, dan huru-hara yang terjadi dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak penandatanganan akta; (50%)
7. WP Orang Pribadi Veteran, PNS, tni, polri, Pensiunan PNS, Purnawirawan TNI, Purnawirawan POLRI atau janda/dudanya yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan rumah dinas pemerintah. (75 %)
8. Tanah dan atau bangunan digunakan untuk kepentingan sosial atau pendidikan yang semata-mata tidak untuk mencari keuntungan antara lain untuk panti asuhan, panti jompo, rumah yatim piatu, sekolah yang tidak ditujukan mencari keuntungan, rumah sakit swasta milik institusi pelayanan sosial masyarakat. (50%)

KEBERATAN DAN BANDING
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu:
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB).
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT).
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar (SKBLB).
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil (SKBN).

Syarat pengajuan keberatan:
diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia,
mengemukakan jumlah pajak yang terutang menurut perhitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan   yang jelas dengan mengemukakan data atau bukti
bahwa jumlah pajak yang terutang atau pajak lebih bayar yang ditetapkan oleh fiskus tidak benar.
diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya (dibuktikan dengan tanda terima dari DJP ataupun tanda pengiriman pos tercatat dari Kantor Pos) surat ketetapan kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya, misalnya sedang sakit atau kena musibah.
Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan tidak dianggap sebagai Surat Keberatan sehingga tidak dipertimbangkan. Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak. Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.
Direktur Jenderal Pajak harus memberi keputusan atas keberatan dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima atau meneruskan ke Kepala Kantor Wilayah 

DJP dalam jangka waktu 14 hari bila BPHTB yang terutang lebih dari Rp. 2.500.000.000,00. Sebelum surat keputusan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis.

Keputusan Direktur Jenderal Pajak dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya jumlah pajak yang terutang. Jika tidak ada keputusan hingga jangka waktu tersebut lewat, keberatan dianggap dikabulan.
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Pengadilan Pajak terhadap keputusan keberatan yang ditetapkan DJP.
Permohonan banding diajukan tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak keputusan kebertan diterima, dilampiri salinan surat keputusan tersebut. Permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.
Apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan
sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran.(*)

(asdp|2018)

Tidak ada komentar